Menyambut Tahun Baru dengan Euforia dan Spiritual


OPINI – Tahun 2023 telah Hadir di hadapan kita, harapan dan asa tentu telah tersusun di hadapan kita semuanya, tentunya setiap orang dapat dan berhak memiliki sikap tersendiri menghadapi tahun 2023.
Banyaknya ragam aktivitas manusia sebagai bentuk kebahagiaan atau kesempatan mereka agar dapat membenahi segala perbuatan yang harus dibenahi serta perbuatan kebaikan dipertahankan dan dikembangkan, harapannya agar mereka dapat memanfaatkan sisah hidup yang masih ada. Ragam sorak gembira meraka dalam penyambutanya dibarengi dengan letupan letupan mercun diatas udara sembari menyaksikan keindahan disetiap letupan mercun dengan membiaskan kembang api disetiap letupan letupanya.
Pusat-pusat keramaian di kota, hotel-hotel, pantai, kawasan wisata, dan tempat hiburan biasanya dijadikan titik simpul masyarakat merayakan detik-detik pergantian tahun. Dana miliaran rupiah dihabiskan sekedar untuk menyambut malam tahun baru itu. Belum lagi korban yang berjatuhan dalam rangka peringatan tersebut.
Pertanyaan kecil dalam batin ini muncul. Mengapa kita selalu berpikir tentang tahun baru dan memperingati serta menyambutnya dengan acara super khusus?
Mengapa menjelang tahun baru dijadikan titik refleksi masa lalu, masa kini, dan masa depan? Padahal setiap hari selalu terjadi fase masa lalu setelah kita melewati sesuatu, masa kini setiap kita berpikir saat itu, masa depan ketika kita berpikir nanti.
Menunda refleksi berarti sama saja menjadikan refleksi tak bermakna karena kita hanya bisa memahami masa lalu. Tak dapat mencegah penyimpangan sedini mungkin. Menunda refleksi hanya akan menghasilkan makna parsial yang tak memiliki ruh. Hal ini berbeda dengan refleksi setiap waktu yang akhirnya akan membentuk sebuah visi ke depan.
Maka jangan heran tahun baru hanyalah sekadar simbolisme semata. Simbolisme tahun baru hanya akan membawa kita kepada kehancuran karena kita tidak mampu memaknainya dengan benar. Apalagi waktu 1 tahun adalah waktu yang sangat panjang yang telah disediakan yang Maha Kuasa bagi kita untuk diisi dengan sebaik-baiknya.
Waktu itu laksana air yang mengalir ke hilir yang tak pernah lagi kembali ke hulu. Waktu juga laksana anak panah yang terlepas dari busurnya yang juga tak akan pernah kembali. Kadang ia membangkitkan gairah dan semangat. Kadang ia memperdaya kita.
Kadang kita tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Oleh karenanya kita harus menghargai setiap kesempatan yang ditawarkan sang waktu sebelum ditarik dari kita karena kesempatan tidak akan datang untuk kedua kalinya.
Tahun baru selalu identik dengan kata "pesta pora". Setiap pergantian tahun masyarakat di seluruh dunia selalu menantinya dengan perasaan berbeda. Tak terkecuali di Indonesia.
Ada pesta meriah dengan sajian musik spesial, pesta pora di pantai-pantai sepanjang malam, makan-makan, minum-minum.
Tak terekam sedikit pun dalam setiap kegiatan tahun baru yang digelar, refleksi masa lalu dengan menginventarisir segala bentuk perbuatan, tindakan, dan keputusan yang pernah diambil untuk dijadikan refleksi menuju tahun depan yang lebih baik lagi.
Yang ada hanya "pesta" dan menikmati malam pergantian tahun yang sesungguhnya tiap malam juga bisa kita nikmati. Detik-detik menuju tahun baru benar-benar hampa tanpa makna. Di sinilah dibutuhkan "refleksi" sesungguhnya dari memaknai tahun baru.
Sesungguhnya refleksi adalah belajar. Belajar adalah cara untuk mengerti, memahami, mendekati, menyadari, mencintai, dan menghasilkan masa depan yang lebih baik dan bermakna.
Refleksi juga merupakan ajang introspeksi diri atas segala bentuk macam perbuatan, tindakan, dan keputusan kita, di mana kadang kala merugikan orang lain, menyakiti, dan menyengsarakan orang lain. Semua itu harus diubah menjadi lebih bermanfaat, berguna, dan berkeadilan.
Masa lalu adalah tempat untuk mengingat segala bentuk ucapan, tindakan, dan seluruh perbuatan kita. Masa kini adalah media untuk merancang, memprediksi, dan menyiapkan strategi terbaik menyikapi masa lalu menuju masa depan. Sedangkan masa depan adalah masa yang senantiasa diinginkan, dicapai, dan dijadikan cita-cita memetik hasil.
 
Kemampuan kita memetakan dengan benar dengan mengambil hikmah dari masa lalu, merenungi masa kini, dan merancang masa depan akan menjadi kunci keberhasilan kita menatap masa depan yang lebih cerah dan mencerahkan.
Memperingati tahun baru tidaklah salah? Tidak juga jelek? Tetapi, harus tetap bermakna. Jika tahun baru hanya dijadikan ajang pesta pora minus makna sedikit pun maka kerugian yang dalam adalah hasil yang dapat kita petik.
Namun, jika kita mampu dan benar-benar menjadikan tahun baru sebagai titik tolak hijrah menuju kebaikan, keadilan, kebijaksanaan, dan kesuksesan maka keuntungan besar akan menjadi hikmah terbesar memperingati tahun baru.

Akbar Aba
(Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Kab. Soppeng - Sulsel)

Tags :-

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !