94 Tahun Sumpah Pemuda; Pentingkah Dirayakan?



Saat tulisan ini dibuat usia saya telah sampai di tahun ke 27. Artinya masih cukup muda bila ukurannya adalah usia pemuda menurut UU Kepemudaan (baca UU 40/2009). Tapi cukup senja untuk ukuran usia para pelopor Kongres Pemuda II, sebuah pertemuan akbar yang kelak rumusannya sangat mempengaruhi, mewarnai bahkan membentuk wajah Indonesia saat ini.

Sugondo Joyopuspito misalnya, Ketua Kongres Pemuda II ketika itu, usianya masih 23 tahun. Atau Muhammad Yamin perumus naskah Sumpah Pemuda juga masih berusia 24 tahun. Bukan hanya mereka berdua saja, peserta yang lainnya juga berada di kisaran usia 23 tahun.

Bung Karno juga ketika masih berusia 20 tahun telah membuat perhimpunan yang kelak menjadi partai yang sangat berpengaruh di orde awal indonesia merdeka. 

Menyadari kenyataan itu membuat saya menjadi minder bahkan masygul, di usia saya sekarang, apa kontribusi dan hal penting yang sudah saya berikan? setidaknya untuk lingkungan terkecil saya. Sungguh membuat masygul.

Apa pentingnya dirayakan ?

Bagi beberapa orang, pertanyaan ini barangkali biasa saja, tapi bagi saya hal itu justru sangat fundamental. Untuk menjawabnya kita perlu masuk ke pendalaman pikiran, dan ke dasar sejarah keindonesiaan kita. Apa sesungguhnya pesan yang hendak disampaikan dan teruskan dari sumpah pemuda. Hal ini penting sebab Bung Karno pernah mengingatkan, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Sebab bila tidak, masa depan akan menggilasmu.

Mari membaca teks dan konteks Sumpah Pemuda, bila mengejanya maka kita menjumpai banyaknya relevansi antara sumpah pemuda dengan situasi saat ini. Di dalam teks dan konteks tersebut kita menjumpai dua hal setidaknya, yakni semangat persatuan dan cita-cita mewujudkan keadilan sosial melalui kemerdekaan.

Mengapa persatuan? karena secara sosiokultural Indonesia oleh Tuhan YME ditakdirkan menjadi bangsa yang supermajemuk, baik dari segi etnis, bahasa, agama, adat, budaya, dls. Di dunia ini barangkali tidak ada bangsa yang sesupermajemuk seperti Indonesia. Karena itu, tanpa jahitan persatuan sangat mungkin Indonesia akan mengalami balkanisasi, atau setidaknya dilanda konflik komunal, perang saudara, kerusuhan berdarah, dan bentukbentuk disintegrasi lainnya. Ide persatuan inilah yang diikrarkan pada 28 oktober 1928.

Mengapa keadilan sosial melalui kemerdekaan? karena hati nurani dan akal budi kita menyepakati bahwa penjajahan dimanapun tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Tak ada bangsa yang ingin terus dibawah jajahan bangsa lain. Dengan merdeka maka keadilan sosial bisa diselenggarakan seluas-luasnya. Itulah semangat yang menginsipirasi orang-orang muda kala itu, mereka berhimpun, berkumpul, membicarakan tentang perlunya persatuan nasional untuk mencapai kemerdekaan, suatu kemerdekaan yang sejati.

Setelah 94 Tahun; Bonus Demografi

Setelah 94 tahun sumpah pemuda diikrarkan. Rasanya semangat ini belum benar-benar kita resapi, ke dalam hati, pikiran dan perbuatan kita. 

Kita masih senang bertikai, bahkan menggunakan kekerasan dalam merespon persoalan, termasuk untuk perkara remeh sekalipun. Kita juga masih senang mengeksploitasi identitas untuk mencapai tujuan apapun. Kita juga masih suka bertindak sewenang-wenang kepada yang lemah dan minor. Kita juga masih senang memonopoli segala hal, terutama di sektor ekonomi.

Setelah 94 tahun, tampaknya semangat itu benar-benar meredup. Padahal disaat yang sama usia muda (16-30 tahun) sedang mengalami penggelembungan dalam struktur demografi Indonesia, tetapi mental muda mengalami pengempisan. Tampilnya orang-orang berusia muda dalam berbagai bidang kehidupan tidak memperkuat semangat ‘kaum muda’.

Kebanyakan tak sanggup mengambil jarak dari ‘kaum tua’ yang mewariskan tradisi korup, feodal dan terbelakang, kebanyakan juga tidak menunjukkan kehendak untuk memuliakan harga diri bangsanya setidaknya melalui pengetahuan dan gerakan kemajuan. Figur-figur politik berusia muda memang banyak yang tampil beradu cepat meraih puncak-puncak kekuasaan, sayangnya kebanyakan tidak memiliki kekuatan etos kejuangan yang etis, miskin imajinasi, cenderung mengambil jalan sesat dalam meraih kekuasaan, dan tidak menunjukan vitalitas daya muda yang progresif.

Ke mana saja kita menghadap, yang terlihat tidak ada tanda-tanda kesungguhan untuk secara sengaja memikirkan, menata, dan mengembangkan potensi yang kita miliki. Para penyelenggara negara hanya sibuk membobol keuangan negara, tetapi jarang yang berkontribusi pada peningkatan pendapatan warga.

Setelah semua itu, mari memikirkan kembali dan merenungkan semangat Sumpah Pemuda, agar tidak terlewat begitu saja, tanpa makna dan tanpa aksi nyata. Setidaknya pada dua bagian utama, yakni semangat persatuan, persatuan dalam arti sesungguhnya, dengan tiada mengecualikan golong­an dan lapisan manapun. Serta semangat membentuk dan membangun bangsa, bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Melalui peringatan 94 tahun sumpah pemuda, mari kembali menyusun komitmen untuk berkontribusi dengan mengaktifkan bagian yang paling kongkrit dari pancasila dan sumpah pemuda, yakni persatuan dan keadilan sosial.

Penulis : M. Yunasri Ridhoh. S.Pd, Mahasiswa PKn Program Pascarjana UPI

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !